jum'atku masih ada
seolah-olah mereka semua bersekongkol bekukan jarum jam di hari jum’at. Bayangkan, terayun langkah ke gym dekat sini, eh ternyata baru buka pukul satu dan begitu pula toko wangi-wangi, kabel, perkakas, dan kedai transfer BRI (serius!)
oleh karena persekongkolan tadi, orang-orang lantas tak banyak bergerak, tak sudi berhuru-hara seperti hari-hari kerja lainnya, tak mau tin-tan-tin di depan jalan kantorku kala pagi. Sunyi beneran nggantung di udara, dan warna merah girang Biskuit Kelapa Roma 345g (terbuat dari kelapa asli) terasa lebih merasuk bak merah Rothko (1969) yang membuat saya melongo dan berpikir apa ada isyaroh ilahi di lereng kurvatur kaleng, atau akan adakah polemik gizi produk FMCG yang muncul sehabis kemarin pada mbahas sufor dan ASI?
suatu saat nanti, mungkin arti jum’at sebagai hiperobjek yang terdistribusi di puluhan juta kepala orang-orang akan luntur, mengering kemudian terkelupas habis; akan tertutup seluruhnya bekas tikaman modernitas terhadap keberadaan yang Maha Lembut. Jum’at akan menjadi senin yang kembar dengan selasa, homotopik terhadap rabu, ganti make up sedikit menjadi kamis, ambil bumbu akhir pekan dan bubuhkan pada jum’at, kemudian voila! hari yang berfungsi dan fungsional sebagai penanda akhir masa kerja. Tidak lain, tidak lebih, tidak ada.
tapi tidak hari ini. Jum’atku masih kembali, banyak toko masih sembunyi, dan aku masih bisa selimuti diri dengan sunyi.