Ada banyak keramean di Indo Twitter (now X), tapi yang sustainably rame biasanya soal harga dan/atau status. Mulai dari harga Taman kanak-kanak kalangan artis, perihal first date di mana, tentang harga kopi, dan sekarang muncul marketing stunt dari sebuah New Media di Jakarta yang memproduksi selebaran digital “tingkatan nongkrong” (strictly speaking not even a media, it’s Tiktok and IG accounts) and like, okay, we know that it’s bullsh*t, case closed bro?
To which I say: Sure, tapi gue mau menggunakan kasus ini untuk bicara beberapa poin menarik.
Pertama, banyak banget kecemasan yang berasal dari soal persepsi harga dan persepsi status. Bagi yang belom tahu, ada istilah status anxiety atau “kecemasan status”, yaitu kecemasan yang berasal dari perbandingan sosial, dari penempatan diri pada tangga-tangga masyarakat baik tangga pendidikan, karir, achievement, self-actualization, bahkan yang lebih “lembut” dan niche macam selera, ilmu pengetahuan pada bidang tertentu, dan kepantasan ritual seperti “kamu nikah di mana?”
rasanya kita merasa-rasa
Pada kasus ranking club/bar di atas, yang disasar adalah rasa malu karena nongkrong di tempat “yang bener aja?” atau rasa bangga karena sudah bisa masuk, bayar, dan hura-hura di anak tangga paling atas. This much is obvious, tetapi bahkan orang-orang yang ngerasa sudah bebas dari penilaian neurotik seperti ini masih kadang tersandung. Teori manajemen performa dari Geoffman bisa diulang di sini:
“…Goffman berpendapat bahwa seseorang menampilkan diri mereka berdasarkan persepsi (bahwa ada) ‘penonton’ di ‘panggung’ depan mereka .. presentasi identitas ... disiapkan di belakang panggung.”
For whom do you perform? Apakah nongkrong kita ini sudah asik? Are we acting like some poor-ass b*tches? Apakah kita keliatan jadi anak-anak gaul? Apakah kita keliatan tidak jadi anak-anak gaul and instead kita produktif diskusi serius; berbeda dari nongki-nongki yang lain? Any and all reflexivity about how you’re being seen counts, dan sebenarnya nggak bisa dihindari karena manusia makhluk sosial bla bla you know that deal already.
Masalahnya adalah, ini bukan tentang dikotomi rasa malu vs. rasa bangga saja. Ibu-ibu yang mau pendidikan yang terbaik untuk anaknya dan cemas karena banyak teknik marketing yang menyasar kecemasan tersebut, misalnya psyop harga TK yang mahal: Rasa tanggung jawab. Mahasiswa yang apply ke sebanyak mungkin internship agar merasa kompetitif di dunia kerja: Rasa kompetisi. Perempuan yang harus khawatir bahwa mereka tidak “menghargai diri sendiri” jika mau diajak first date di tempat yang kurang mahal atau tasteful, sehingga mensinyalkan bahwa si lelaki tidak menganggap serius proses PDKT: Rasa harga diri. The Last Psychiatrist telah menulis tentang ini. Melalui sebuah skenario fiktif tentang laki-laki yang melakukan lamaran dengan tingkat karat berlian yang kurang tinggi, ia melempar sebuah pertanyaan: Berapa hargamu?
Why is it that he can save all year to rent a beach house in the summer? Or for clothes? He spends almost as much on hair products as you do, and half of them are for his back. And now his single fling with frugality is with the lifetime symbol of your love? "You know, diamonds are just a worthless commodity the media has told us are valuable." So are breast implants. Shut it.
It's not about the ring, Alone; but about his willingness to sacrifice his own interests for you. If he drank two fewer beers each night out... is that too much to ask?
...
I hear you telling me that it's not even a symbol as much as a test: does he have the ability to put you first? Can he physically take from his plate and put into yours? Any guy who gives you a small ring is going to get a gentle push back to Tiffany's or a boot to the ass.
The thing is... hypotheticals like this can only be answered because you're controlling for the most important and limitless variable, the other person. When you have a real fiance, who knows what you'd do? Or what he'd do? So the point of these hypotheticals isn't to determine a code of behavior but to broadcast to others something about yourself. "I'm the kind of girl that wouldn't tolerate a guy who can't put me first." But in your own hypothetical, hadn't you already tolerated him for a year?
What does accepting a subpar diamond ring says about you?
Ini propaganda yang lebih sulit untuk diurai daripada propaganda dangkal semacam spot nongkrong verified. Ini berkaitan erat dengan rasa sesal; rasa takut bahwa you’re going in the wrong path and not maximizing your asset/life/career/potential dan sebagai akibatnya oh my god is this a wasted life?
sekarang kita bicara tentang harga
“Wah murah banget itumah!” F*ck you, elo main kurang jauh, privileged, buta keadaan grassroot, ga peka, penghisap, kolonialis, ignoramus extraordinaire. “Wah mahal banget itulah!” F*ck you, emang lo miskin aja, dasar kelas menengah baru, halah kaum mendang-mending, halah OKB nggak tahu yang beneran mahal itu yang mana.
Komen murah diserang, komen mahal diserang—karena identitaslah yang diserang. “Posisi elo di masyarakat itu salah secara inheren, your identity is toxic/lame as hell, we’re obviously morally/materially better” dan jelas ini nggak bakal ada akhirnya karena semuanya différance berasal dari pertempuran simbol yang bergantung satu sama lain untuk ditafsirkan, it’s circular subjectivity all the way down.
I propose two general ways in which we can see this in a saner way:
Bahwa semuanya relatif; pernyataan seperti "terlalu mahal" atau "terlalu murah" tidak seharusnya diambil hati atau dianggap sebagai serangan terhadap status sosial kita. Begitu pula “terlalu x” atau “terlalu y” seperti yang contoh-contohnya di atas sudah dibahas. Kata temanku Fawwaz: “Begging people to decouple price as a statement of fact and price as a statement of morality.”
Fokus pada subjek yang dibahas dan keahlian tentang subjek tersebut. Contohnya adalah user [at] representatif di X, misalnya, yang punya expertise ttg teh dan daun teh. I would trust him in his judgement tentang apakah sesuatu mahal atau murah in the context of tea-making or tea-consuming and I will not feel offended if it's out of my budget, nor should I feel bad about not being able to purchase that.
Bahwasanya, banyak sekali pembicaraan yang bisa dilakukan tentang selera, perjalanan diri (the stories that we tell of ourselves), tradeoff, kualitas barang atau jasa, beautiful but not necessarily valuable details of the craft, dan omongan bisnis tentang misalnya sourcing dari mana. Percakapan-percakapan yang asli, enak, dan tidak melulu berputar-putar soal status.
matter of the heart
Kemarin siang ketika gue sedang menaruh cucian di laundry, bapak-bapak yang menangani request gue, 50 tahunan umur doi, bertanya di mana beli celana besar yang hendak dicuci karena “bahannya bagus” dan gue jawab, "Oh ini sisa ekspor pak, 130 ribu."
Sebelum sempat bilang "murah kan?", dia sudah menyahut "Oh, mahal ya!" tanpa ada nada mencemooh (ironi) sama sekali. The thing to be taken away from here is that he shouldn't be made to feel bad that he thinks it's expensive and I shouldn't feel bad in thinking that it's cheap. Dan bukan tentang murah-mahal saja, melainkan tentang hal-hal lain yang lebih subtle seperti “apakah narasi gue tentang diri sendiri ini membuat gue menderita karena tidak mengalami atau diperlakukan seperti atau tidak mampu atau belum bisa atau—what’s important is that each of us came from a different set of experience and preferences, dan konteks gue sedang nyuci laundry itu jangan disamakan dengan konteks lain, e.g. diskusi thrifting di mana I would defend the cheapness of my find, tentunya bangga.
It's as simple as seeing <who> are we talking to and <in which context> is the talk about, ini tentang simpati, ini tentang hati, ini tentang ngeliat sebenernya what are we doing here? What are we saying? Why are we so hung up about all of this including Yth. Penulis Sendiri? TLP said:
"Are you saying I have to settle for a smaller ring?" No girl watching award shows to see what they're wearing but hasn't seen any of the movies and who doesn't read the post before yelling. I'm saying if you refuse a ring from a guy which is less than what you wanted, thinking it's a symbol of his love but hoping it is not a symbol of his love, then the problem isn't the ring, the problem is you.
Maka jangan sampai kemampuan untuk membangun kompas hati berdasarkan empati, thoughtfulness, and the better judgement that comes from being free of tension malah tergantikan oleh berhala-berhala menyesatkan di kepala sendiri; the veritable source in which many modern malaise welled up from.
Jujur ngakak lihat gambar rate-ratean ini masuk Substack 😂 Tapi bener, sudah saatnya kita lebih kaleman di dunia yang terlalu cepat ini